URGENSI KENAIKAN BBM
Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam beberapa kesempatan menyatakan pada bulan ini pemerintah memastikan akan menaikkan BBM dan yang akan mengumumkan presiden Jokowi sendiri. Sementara para wartawan ketika tanya kepada Jokowi juga belum memperoleh kepastian kapan akan diumumkan.
Tidak Mendesak
Era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) subsidi BBM dianggarkan 146 trilyun rupiah dengan asumsi harga minyak mentah di pasar internasional 105 US dollar/barrel. Pemerintahan SBY memperkirakan stok BBM bersubsidi baik premium mau pun solar diperkirakan akan habis tanggal 20-an Desembaer 2014, sehingga sebelum lengser pemerintah melakukan pembatasan distribusi BBM. Akibatnya di masyarakat sempat terjadi kepanikan, karena tiba-tiba di berbagai daerah premium dan solar hilang dari pasaran. Kepanikan ini diperburuk lagi dengan aksi borong pembelian BBM oleh masyarakat dan juga aksi para spekulan yang menyelewengkan BBM itu dijual ke industri atau diselundupkan ke luar negeri.
Sebelum lengser SBY beberaopa kali menyatakan kelangkaan BBM segera dapat diatasi dan menghimbau masyarakat tak perlu panik.
Tanggal 20 Oktober SBY lengser diganti oleh presiden Jokowi. Beberpa hari sebelum pelantikan terdengar kabar harga minyak mentah di pasar dunia menurun dan sampai saat ini berkisar menjadi 80 US dollar/barrel. Setelah pelantikan pemerintah baru selain mengumumkan Program Nawa Cita, Poros Maritim, Tol Laut ternyata juga mengumumkan niatan untuk tetap akan menaikkan harga BBM.
Ketika masyarakat tahu bahwa harga minyak saat ini menurun signifikan, kemudian muncul polemik pro dan kontra perlu segera menaikkan BBM atau tidak. Bukan secara kebetulan polemik ini ternyata terbagi menjadi kelompok yang paralel dengan koalisi partai politik di DPR, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Para pendukung kedua koalisi tersebut ternyata opini mereka kurang lebih sama dengan wakil rakyat yang di DPR.
Argumen yang mendukung bahwa subsidi BBM semacam itu harus segera diakhiri, karena selama ini alokasi subsidi BBM terjadi distorsi. Penikmat subsidi ini justru kalangan kelas menengah, sehingga BBM harus naik dan kenaikan tersebut digunakan untuk mengurusi rakyat miskin. Mereka mendukung implementasi Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu keluarga Sejahtera. Sementara kelompok yang menentang kenaikan BBM menyatakan dengan turunnya harga BBM yang signifikan harga BBM yang saat ini masih berlaku tidak perlu dinaikkan, karena anggaran untuk memenuhi BBM bersubsidi tersebut masih bisa dipenuhi oleh APBN 2014.
Masalah kenaikan BBM ini menjadi perdebatan hangat ketika pada saat wacana kenaikan disuarakan presiden Jokowi mengumumkan pelaksanaan ketiga kartu tersebut di atas. Masalah menjadi melebar karena pemerintah ternyata tidak bisa memberi penjelasan yang memuaskan masyarakat asal usul pendanaan implementasi tiga kartu andalan Jokowi ini. Simpang siur pendanaan katanya dari CSR BUMN, katanya dari BPJS dan katanya diambil dari anggaran APBN yang sudah ada, Cuma jaman SBY dikemas dalam BLSM dan PNPM , sedang masa Jokowi dikemas menjadi KIP, KIS, KKS. Polemik ini sempat memunculkan permasalahan legalitas kartu-kartu tersebut secara hukum.
Dalam kasus BBM bersubsidi ini ada dua hal yang harus dipahami secara terpisah, namun berkaitan erat. Pertama masalah kuota BBM bersubsidi yang dipatok pada tahun anggaran 2014 itu sebesar 46 juta kilo liter dan jumlah anggaran subsidi yang dipatok sebesar 174 trilyun rupiah dengan asumsi harga minyak mentah 105 US dollar/barrel.
Ketika harga minyak dunia turun menjadi 80 US dollar/ barrel, maka muncul pertanyaan seberapa jauh urgensi kebijakan kenaikan BBM bersubsidi oleh pemerintahan Jokowi yang kabarnya akan segera diumumkan. Kedua seandainya naik berapa kenaikan yang perlu dilakukan terhadap BBM bersubsidi. Apakah kenaikan tersebut di bawah harga keekonomian premium dan solar, yang artinya masih tetap ada subsidi. Apakah kenaikan tersebut sesuai dengan harga keekonomian yang berarti tak akan ada lagi subsidi BBM.
Pertanyaan pertama jawabannya menggunakan logika kuota jebol dan tersedianya anggaran subsidi yang ada. Dengan perhitungan 105 US dollar kalau kuaota habis pada tanggal 20 Desember, maka pemerintah perlu segera melakukan langkah pengamanan, yaitu dengan menaikkan harga BBM. Alasannya pada saat itu anggaran yang tersedia dipastikan sudah habis. Bila tidak dinaikkan pemerintah justru dapat dianggap melanggar Undang-Undang, karena dana yang dipakai untuk nomboki kekurangan harus diperoleh dari mana. Akan tetapi ketika harga minyak mentah turun menjadi 80 US dollar, maka logikanya harga premium dan solar pun harus turun juga. sehingga anggaran belanja subsidi BBM otomatis akan sisa, karena pembelian BBM bersubsidi juga turun nominalnya. Dengan demikian pemerintah masih bisa membeli premium dan solar bersubsidi ini dengan memakai sisa anggaran subsidi untuk memenuhi kekurangan pasokan BBM. Sayangnya selama ini persoalan naik turunnya harga BBM Pertamina sepertinya tak pernah transparan. Publik banyak yang tidak tahu berapa harga keekonomian BBM tersebut, pemerintah memberi subsidi berapa per liternya. Masayarakat hanya tahu harga premium yang disubsidi itu di SPBU Rp. 6.500,- perliter dan solar Rp. 5.500 perliter. Sementara harga Pertamax yang tidak disubsidi berkisar Rp. 11.500 perliter dan solar Rp. 10.500,-.
Dari argumen di atas penulis melihat bahwa wacana kenaikan BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang tidak mendesak. Pemerintah segera menaikkan BBM ketika harga minyak dunia melonjak signifikan. Berdasar analisis beberapa ahli, kenaikan harga minyak mentah dunia belum akan naik drastis sejalan dengan tarik ulur negara-negara produsen minyak yang tergabung di OPEC dan yang tidak menjadi anggota. Variabel kedua kebutuhan minyak akan meningkat sejalan dengan perubahan musim di negara-negar maju, sehingga dua hal ini yang terus perlu dicermati.
Berkaitan dengan soal alokasi subsidi yang harus diberikan kepada rakyat sebagian besar rakyat setuju bahwa pemberian subsidi BBM sampai saat ini hanya menguntungkan kelompok kelas menengah ke atas. Oleh karena itu kenaikan harga, tujuan utamanya adalah mengurangi subsidi sekaligus mengarahkan subsidi tersebut untuk rakyat kecil. Penulis melihat bahwa kenaikan harga BBM sesuai dengan harga keekonomian yang berlaku tak akan menjadi masalah, bila pada saat yang sama pemerintah memberi pancing yang memadai agar mereka mampu meningkatkan kesejahteraan secara ekonominya. Untuk jangka pendek kartu-kartu tersebut cukup bermanfaat. Dalam jangka menengah setelah pemerintah berhasil menjalankan program Nawa Cita kartu-kartu tersebut secara perlahan bisa diubah menjadi program asuransi yang sebagian ditanggung oleh yang bersangkutan.
Bukan Pencitraan
Kebijakan menaikkan BBM sementara orang menganggap itu sebagai konsekuensi logis dari politik pencitraan Jokowi. Kenaikan tersebut jelas akan membuat sebagain besar kelas menengah dan atas yang selam ini menikmati keuntungan besar minimal akan cemberut, karena harus mengeluarkan kocek tambahan dari sakunya. Sementar rakyat kecil gembira karena mendapat tiga kartu yang tentu cukup berarti buat mereka.
Program ini bisa menjadi bukan sekadar pencitraan ketika Jokowi mampu menjelaskan kepada rakyat bahwa hasil kenaikan BBM tersebut akan kembali ke masyarakat dan akan memberi multiplier effect dalam kegiatan sosial dan ekonomi mereka. Misal proyek angkuatn massal dalam waktu dekat bisa diselesaikan dan secara transparan berapa sumbangan hasil daraikenaikan BBM tersebut digunakan untuk mendanai proyek tersebut.
Semua ini masih wacana, namun saya yakin Jokowi dan kabinetnya saat ini sudah memiliki rencana strategis yang menjadi prioritasnya dan sumber pendanaannya secara transparan dapat dirunut sebagian atau seluruhnya diambil dari hasil kenaikan BBM
Sidoarjo, 10 NOvember 2014
Tidak Mendesak
Era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) subsidi BBM dianggarkan 146 trilyun rupiah dengan asumsi harga minyak mentah di pasar internasional 105 US dollar/barrel. Pemerintahan SBY memperkirakan stok BBM bersubsidi baik premium mau pun solar diperkirakan akan habis tanggal 20-an Desembaer 2014, sehingga sebelum lengser pemerintah melakukan pembatasan distribusi BBM. Akibatnya di masyarakat sempat terjadi kepanikan, karena tiba-tiba di berbagai daerah premium dan solar hilang dari pasaran. Kepanikan ini diperburuk lagi dengan aksi borong pembelian BBM oleh masyarakat dan juga aksi para spekulan yang menyelewengkan BBM itu dijual ke industri atau diselundupkan ke luar negeri.
Sebelum lengser SBY beberaopa kali menyatakan kelangkaan BBM segera dapat diatasi dan menghimbau masyarakat tak perlu panik.
Tanggal 20 Oktober SBY lengser diganti oleh presiden Jokowi. Beberpa hari sebelum pelantikan terdengar kabar harga minyak mentah di pasar dunia menurun dan sampai saat ini berkisar menjadi 80 US dollar/barrel. Setelah pelantikan pemerintah baru selain mengumumkan Program Nawa Cita, Poros Maritim, Tol Laut ternyata juga mengumumkan niatan untuk tetap akan menaikkan harga BBM.
Ketika masyarakat tahu bahwa harga minyak saat ini menurun signifikan, kemudian muncul polemik pro dan kontra perlu segera menaikkan BBM atau tidak. Bukan secara kebetulan polemik ini ternyata terbagi menjadi kelompok yang paralel dengan koalisi partai politik di DPR, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Para pendukung kedua koalisi tersebut ternyata opini mereka kurang lebih sama dengan wakil rakyat yang di DPR.
Argumen yang mendukung bahwa subsidi BBM semacam itu harus segera diakhiri, karena selama ini alokasi subsidi BBM terjadi distorsi. Penikmat subsidi ini justru kalangan kelas menengah, sehingga BBM harus naik dan kenaikan tersebut digunakan untuk mengurusi rakyat miskin. Mereka mendukung implementasi Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu keluarga Sejahtera. Sementara kelompok yang menentang kenaikan BBM menyatakan dengan turunnya harga BBM yang signifikan harga BBM yang saat ini masih berlaku tidak perlu dinaikkan, karena anggaran untuk memenuhi BBM bersubsidi tersebut masih bisa dipenuhi oleh APBN 2014.
Masalah kenaikan BBM ini menjadi perdebatan hangat ketika pada saat wacana kenaikan disuarakan presiden Jokowi mengumumkan pelaksanaan ketiga kartu tersebut di atas. Masalah menjadi melebar karena pemerintah ternyata tidak bisa memberi penjelasan yang memuaskan masyarakat asal usul pendanaan implementasi tiga kartu andalan Jokowi ini. Simpang siur pendanaan katanya dari CSR BUMN, katanya dari BPJS dan katanya diambil dari anggaran APBN yang sudah ada, Cuma jaman SBY dikemas dalam BLSM dan PNPM , sedang masa Jokowi dikemas menjadi KIP, KIS, KKS. Polemik ini sempat memunculkan permasalahan legalitas kartu-kartu tersebut secara hukum.
Dalam kasus BBM bersubsidi ini ada dua hal yang harus dipahami secara terpisah, namun berkaitan erat. Pertama masalah kuota BBM bersubsidi yang dipatok pada tahun anggaran 2014 itu sebesar 46 juta kilo liter dan jumlah anggaran subsidi yang dipatok sebesar 174 trilyun rupiah dengan asumsi harga minyak mentah 105 US dollar/barrel.
Ketika harga minyak dunia turun menjadi 80 US dollar/ barrel, maka muncul pertanyaan seberapa jauh urgensi kebijakan kenaikan BBM bersubsidi oleh pemerintahan Jokowi yang kabarnya akan segera diumumkan. Kedua seandainya naik berapa kenaikan yang perlu dilakukan terhadap BBM bersubsidi. Apakah kenaikan tersebut di bawah harga keekonomian premium dan solar, yang artinya masih tetap ada subsidi. Apakah kenaikan tersebut sesuai dengan harga keekonomian yang berarti tak akan ada lagi subsidi BBM.
Pertanyaan pertama jawabannya menggunakan logika kuota jebol dan tersedianya anggaran subsidi yang ada. Dengan perhitungan 105 US dollar kalau kuaota habis pada tanggal 20 Desember, maka pemerintah perlu segera melakukan langkah pengamanan, yaitu dengan menaikkan harga BBM. Alasannya pada saat itu anggaran yang tersedia dipastikan sudah habis. Bila tidak dinaikkan pemerintah justru dapat dianggap melanggar Undang-Undang, karena dana yang dipakai untuk nomboki kekurangan harus diperoleh dari mana. Akan tetapi ketika harga minyak mentah turun menjadi 80 US dollar, maka logikanya harga premium dan solar pun harus turun juga. sehingga anggaran belanja subsidi BBM otomatis akan sisa, karena pembelian BBM bersubsidi juga turun nominalnya. Dengan demikian pemerintah masih bisa membeli premium dan solar bersubsidi ini dengan memakai sisa anggaran subsidi untuk memenuhi kekurangan pasokan BBM. Sayangnya selama ini persoalan naik turunnya harga BBM Pertamina sepertinya tak pernah transparan. Publik banyak yang tidak tahu berapa harga keekonomian BBM tersebut, pemerintah memberi subsidi berapa per liternya. Masayarakat hanya tahu harga premium yang disubsidi itu di SPBU Rp. 6.500,- perliter dan solar Rp. 5.500 perliter. Sementara harga Pertamax yang tidak disubsidi berkisar Rp. 11.500 perliter dan solar Rp. 10.500,-.
Dari argumen di atas penulis melihat bahwa wacana kenaikan BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang tidak mendesak. Pemerintah segera menaikkan BBM ketika harga minyak dunia melonjak signifikan. Berdasar analisis beberapa ahli, kenaikan harga minyak mentah dunia belum akan naik drastis sejalan dengan tarik ulur negara-negara produsen minyak yang tergabung di OPEC dan yang tidak menjadi anggota. Variabel kedua kebutuhan minyak akan meningkat sejalan dengan perubahan musim di negara-negar maju, sehingga dua hal ini yang terus perlu dicermati.
Berkaitan dengan soal alokasi subsidi yang harus diberikan kepada rakyat sebagian besar rakyat setuju bahwa pemberian subsidi BBM sampai saat ini hanya menguntungkan kelompok kelas menengah ke atas. Oleh karena itu kenaikan harga, tujuan utamanya adalah mengurangi subsidi sekaligus mengarahkan subsidi tersebut untuk rakyat kecil. Penulis melihat bahwa kenaikan harga BBM sesuai dengan harga keekonomian yang berlaku tak akan menjadi masalah, bila pada saat yang sama pemerintah memberi pancing yang memadai agar mereka mampu meningkatkan kesejahteraan secara ekonominya. Untuk jangka pendek kartu-kartu tersebut cukup bermanfaat. Dalam jangka menengah setelah pemerintah berhasil menjalankan program Nawa Cita kartu-kartu tersebut secara perlahan bisa diubah menjadi program asuransi yang sebagian ditanggung oleh yang bersangkutan.
Bukan Pencitraan
Kebijakan menaikkan BBM sementara orang menganggap itu sebagai konsekuensi logis dari politik pencitraan Jokowi. Kenaikan tersebut jelas akan membuat sebagain besar kelas menengah dan atas yang selam ini menikmati keuntungan besar minimal akan cemberut, karena harus mengeluarkan kocek tambahan dari sakunya. Sementar rakyat kecil gembira karena mendapat tiga kartu yang tentu cukup berarti buat mereka.
Program ini bisa menjadi bukan sekadar pencitraan ketika Jokowi mampu menjelaskan kepada rakyat bahwa hasil kenaikan BBM tersebut akan kembali ke masyarakat dan akan memberi multiplier effect dalam kegiatan sosial dan ekonomi mereka. Misal proyek angkuatn massal dalam waktu dekat bisa diselesaikan dan secara transparan berapa sumbangan hasil daraikenaikan BBM tersebut digunakan untuk mendanai proyek tersebut.
Semua ini masih wacana, namun saya yakin Jokowi dan kabinetnya saat ini sudah memiliki rencana strategis yang menjadi prioritasnya dan sumber pendanaannya secara transparan dapat dirunut sebagian atau seluruhnya diambil dari hasil kenaikan BBM
Sidoarjo, 10 NOvember 2014
0 komentar:
Posting Komentar