Kawruh Politik
Pagi ini saya mencoba mengajak merenungkan sesungguhnya masyarakat Indonesia ini sebeanarnya paham dan tahu soal politik apa tidak? Mengapa akhir-akhir ini pemilihan anggota legislatif dan disusul dengan pemilihan presiden hingar bingar politik tersa mendominasi pemberitaan di media TV, Koran dan Media Sosial.
Politikmerupakan kata dari bahasa Jerman dan dalam bahasa Inggrisnya di tulis dengan Politics. Dalam bahasa kita tertulis dengan Politik. Kalau merujuk pada pemilihan Umum, maka politik memiliki makna hal-hal yang berkaitan dengan masalah kenegaraan. Artinya rakyat ketika memilih anggota DPR dan Presiden sesungguhnya sedang menjalankan peran politik. Ketika seseorang menjatuhkan pilihan pada calon , maka orang tersebut sedang mengambil suatu keputusan politik. Berarti dia sedang menjalankan kebijakan politik. Dalam konteks menjalankan keputusan tersebut orang itu sebenarnya sedang menjalankan kewenangan yang dia miliki sebagai warga negara.
Dari contoh di atas, maka pemilihan anggota DPR mau pun presiden politik merupakan proses, momen dan peristiwa yang secara normatif tidak harus ada konflik di antara warga negara atau kelompok warga negara.
Akan tetapi terbnyata dalam menjalankan proses kegiatan kenegaraan yang meliputi aspek kebijakan dan kewenangan ada muatan lain di dalam politik, yaitu relasi kekuasaan dan kepentingan antar warag negara atau kelompok warga negara. Naah kekuasaan dan kepentingan inilah yang membuat sering terjadinya konflik sekaligus kerjasama di antara waraga negara dan kelompok warga negara.
Relasi kekuasaan memberi makna ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya ada perjuangan yang dilakukan oleh warga negara atau kelompok warga negara yang berusaha keras untuk memperoleh kekuasaan, karena dengan berkuasa ia atau mereka akan memperoleh manfaat yang banyak dalam posisi sebagai penguasa. Dalam konteks negara kekuasan direprentasikan dengan pemerintahan.
Relasi kepentingan memberi arti bahwa warga negara atau kelompok warga negara punya kepentingan untuk memperoleh kebutuhan yang ia atau mereka miliki. Dalam konteks inilah kekuasaan menjadi kebutuhan yang perlu dimiliki.
Kepentingan yang sama akan menciptakan kerjasama atau sinergi untuk memperoleh kekuasaan yang dibutuhkan. Kepentingan yang berbeda mengakibatkan adanya kompetisi dalam upaya meraih kekuasan atau bahkan menjadikan ia atau mereka harus berkonflik.
Dalam hal kehidupan bernegara politik menjadi alat dan bisa jadi sekaligus menjadi tujuan. Kekuasan dan kepentingan menjadi alat ketika dengan berkuasa dan berkepentingan menjalankan kekuasaan maka kemaslahatan warga negara atau kelompok warga negara akan terpenuhi yaitu bisa berupa keamanan dan kesejahteraan serta kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Kekuasaan dan kepentingan menjadi tujuan ketika seorang warga negara atau kelompok warga negara menjadikan itu sebagai target dlam kehidupannya sehingga alat yang digunakan bisa dilakukan dengan berbagai cara, misal dengan membunuh pesaing atau lawan politiknya. Dengan demikian kekuasaan dan kepntingan untuk mencapai kekuasaan akan menghasilkan kesejahteraan untuk diri sendiri dan kelompok yang mendukungnya.
Banyak pakar kemudian membahas etika dalam berpolitik merupakan aspek lain yang diperlukan dalam berpolitik. Etika politik akan menjadi code of conduct dalam perilaku politik, sehingga apabila etika politik itu kemudian ditaati, maka warga negara atau kelompok warga negara yang menjalankan kekuasaan dan kepentingan untuk berkuasa akan meningkat derajadnya menjadi negarawan. Negarawan adalah pelaku politik yang meletakkan kekuasaan dan kepentingan berkuasa untuk kemaslahatan negara dan bangsa.
Pemilihan Umum yang baru saja kita lewati memberi pelajarn menarik dan perlu menajdi renungan kita bersama. Pertama sejak Joko Widodo dan Jusuf Kalla memenangkan pemilihan selama hampir tiga bulan kita disuguhi oleh phenomena perebutan kekuasaan dan perebutan kepentingan yang tidak berdasarkan fatsun etika politik yang benar. Tiap hari kita mendengar dan membaca saling ejek di antara dua kelompok pendukung calon yang kalah dengan yang menang. Fitnah pun bermunculan dalam bentuk berbagai macam gaya . Pertarungan untuk menguasai parlemen dan MPR pun menjadi ajang konflik di antara dua kubu. Akhirnya kita saksikan Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo Subiyanto dan Hatta Rajasa pun berhasil menang tidak dengan musyawarah dan mufakat, namun dengan cara voting.
Menjelang pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sempat muncul kecemasan bahwa pelantikan akan berjalan tidak mulus dan bisa menghasilkan kekacauan. Masyarakat tidak menduga telah terjadi komunikasi politik yang begitu menarik antara Jokowi dan Prabowo, sehingga akhirnya mereka bisa bertemu sebelum tanggal pelantikan. Hasilnya luar biasa karena hasil dari komunikasi politik menciptakan etika politik yang menunjukkan bahwa mereka yang bersaing meningkat derajad nya dari politisi menjadi negarawan yang jauh lebih mementingkan kepentingan negara dan bangsa di atas segalanya.
Kegagapan justru terjadi pada masing-masing pendukung. Sampai saat ini masih banyak yang belum mampu mencerna kenegarawanan tokoh-tokoh yang mereka dukung memberi makna signifikan bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di Indonesia. Suara saling ejek dan fitnah masih terdengar meskipun tidak sehebat sebelumnya. Tugas elite politik Indonesia untuk memberi pendidikan politik yang beretika masih jadi pekerjaan rumah yang perlu diintensifkan dan juga bagaimana presiden melaksanakan janji-janji yang mereka katakan selama masa kampanye.
Purworejo, 26 Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar