SETELAH GEBRAKAN MORATORIUM IJIN KAPAL DAN PENANGKAPAN KAPAL ILEGAL
Hampir 100 hari Susi Pujiastuti mengguncang jagad
kemaritiman Indonesia dan sekitarnya dengan melakukan penangkapan kapal asing
illegal yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia dan pelarangan fishing
transshipment, masih saja terdengar ada kapal yang ditangkap dan bahkan
ditenggelamkan. Selain itu muncul protes
dari pengusaha perikanan domestic sehubungan dengan pelarangan transshipment dan pelarangan penggunaan
alat penangkap ikan pukat harimau dan
sejenisnya.
Dari gebrakan kebijakan ini sekarang tampak lebih
transaparan permasalahan perikanan beserta turunannya yang perlu memeroleh perhatian pemerintah
Indonesia dan bisa dicermati oleh masyarakat
Industri Kelautan
Satu permasalahan yang sekarang semakin tampak menjadi
masalah krusial antara lain bagaimana industry kelautan beserta sarana
pendukungnya akan memberi prospek cerah
atau dalam jangka pendek dan menengah justru akan merugikan pertumbuhan industri
kelautan itu sendiri.
Selama ini ditengarai lebih dari 6 ribu kapal asing atau eks
asing yang beropersasi menangkap ikan di berbagai tempat perairan Indonesia
secara illegal. Hasil tangkapan tersebut jelas bisa dihitung berapa trilyun
kerugian Indonesia sebagai akibat kegiatan tersebut. Sekitar 6 trilyun rupiah
pertahun kerugian ituhampir selalu dialami. Setelah penertiban pertanyaan besar
kita sekarang berapa devisa yang bisa kita selamatkan setidaknya dalam seratus
hari terakhir ini. Penulis belum memeroleh data yang akurat, namun secara
logika pendpatan dari sektor perikanan hampir dapat dipastikan akan naik
signifikan. Akan tetapi ada kemungkinan hasil tangkapan ikan justru tidak
menambah devisa yang diperoleh, karena sampai saat ini belum ada peningkatan
signifikan hasil tangkapan ikan domestik yang secara legal beroperasi.
Peningkatan perolehan tangkapan berbanding lurus dengan
penambahan jumlah dan tonase kapal yang
akan beroperasi secara legal. Masalahnya untuk menambah jumlah dan kualitas
kapal sepertinya perusahaan dalam negeri hanya berkemampuan sangat terbatas.
Salah satu kendalanya hampir semua Bank di Indonesia belum begitu berani
investasi dalam pembuatan kapal ikan dengan tonase dan teknologi tinggi.
Sementara pengusaha kapal dari segi
modal hanya terbatas. Kendala ini hanya bisa diatasi dengan komitmen pemerintah
untuk memberi jaminan agar industri
kapal bisa memeroleh kredit yang menguntungkan bagi pertumbuhan usaha galangan
kapal.
Permasalahan teknologi pemeliharaan pasca penangkapan ikan
juga masih terkendala , seperti terbatasnya cold
storage yang tersedia di pangkalan penumpukan ikan, dermaga yang mampu
memadai untuk memfasilitasi Tempat Pelelangan Ikan yang representatif. Ini sudah
disadari oleh pemerintah dan ada keinginan kuat untuk menambah jumlah cold storage diberbagai tempat agar
kualitas ikan pasca penangkapan dapat terjaga dalam kualitas prima. Pembangunan
49 Pelabuhan yang dapat melayani lalu lintas orang dan barang, termasuk hasil
tangkapan ikan mulai digarap.
Ketaatan pengusaha besar perikanan terhadap kebijakan
Kementrian Perikanan dan Kelautan masih
menjadi pertanyaan, karena terbukti penangkapan ikan eks Tiongkok yang dimiliki
satu perusahaan ikan itu beroperasi dengan tanpa kelengkapan dokumen yang sah.
Selain itu diduga perusahaan besar ada yang tak patuh dengan langsung membawa
hasil tangkapan ke pelabuhan yang dimiliki, sehingga pemerintah tidak tahu
berapa banyak dan jenis ikan yang ditangkap itu. Jadi perolehan devisa dari
hasil tangkapan ini rawan dimanipulasi.
Dampak bagi Nelayan
dan rakyat
Seperti yang disebut di atas secara logika kebijakan di atas
akan berdampak positif pada masyarakat nelayan dan juga rakyat Indonesia. Tentu
saja negara akan memeroleh manfaat yangsignifikan.Selain mengambil patokan seratus hari setelah kebijakan diberlakukan,
penulis melalui telaah berbagai pemberitaan, sementara berkesimpulan nelayan dan rakyat
pada umumnya belum memeroleh manfaat yang signifikan dari kebijakan tersebut.
Di beberapa tempat justru muncul protes dari para nelayan kecil dan menengah, karena
pelarangan transshipment justru memberi
beban tambahan buat mereka, karena biaya operasional penangkapan ikan tidak
sebanding dengan hasil tangkapan. Artinya Susi yang pada waktu menggulirkan
kebijakan tersebut jelas menyatakan optimisme kesejahteraan ekonomi nelayan dan
buruh nelayan akan terdongkrak signifikan, maka
kiranya perlu penelitian lebih
lanjut soal hal tersebut. Protes tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa
kebijakan di atas masih belum menyentuh pada persoalan kebutuhan dasar nelayan
Masalah yang kedua setelah kebijakan bergulir , Susi
mengklaim persediaan ikan di pasar meningkat signifikan. Masalah yang krusial
adalah daya serap pasar terhadap kelebihan pasokan ikan perlu menjadi perhatian
serius. Dari berbagai sumber, rakyat Indonesia secara umum nilai konsumsi
produk produk ikan segar mau pun olahan masih sangat kecil dibanding dengan
negara negara lainnya. Kegemasan Susi tentang pasokan ikan domestik yang selama
iniberedar kualitasnya di bawah standar, karena yang bagus justru diekspor
perlu diapresiasi. Namun kegelisahan tersebut belum cukup. Peningkatan nilai
konsumsi produk laut menyangkut masalah budaya makan masyarakat. Pekerjaan
rumah yang tidak mudah bagaimana mengubah pola makan masyarakat agar ikan dan
produk laut yang gizinya tinggi bisa diterima lebih mudah di masyarakat.
Kelebihan pasokan ikan memang bisa diserap oleh industri perikanan
menengah dan besar. Pemain domestik dibidang ini tampaknya masih cukup
terbatas, sementara perusahaan asinglah yang lebih dominan. Ada aspek yang
perlu diperhitungkan bahwa kebijakan menindak pencuri ikan kemungkinan ada
resistensi terselubung dari negara negara yang perusahaannya melakukan illegal fishing di Indonesia. Apabila hal ini terjadi Indonesia akan
kesulitan melakukan kegiatan ekspor hasil industri produk kelautan. Sampai saat
ini memang belum terbukti, tapi perlu diwaspadai.
Kendala yang terakhir konsitensi terhadap penerapan
kebijakan di atas perlumenjadi perhatian ada satu inkonsitensi kebijakan yaitu
pelonggaran ijin menangkap ikan dengan pukat harimau dan sejenisnya diundur
sampai awal tahun 2016. Kebijakan ini mengakomodasi siapa? Rasanya bukan pada
para nelayan tradisional yang tak punya kemampuan modal dan teknologi
penangkapan dengan menggunakan pukat harimau. Aturan ini mengakomodasi
kepentingan kelas menengah nelayan dan para pengusaha perikanan menengah dan
besar yang memilki kemampuan menangkap dengan kapal tonase besar dan teknologi
pukat harimau tersebut.
Kesimpulan
Gebrakan Susi masih belum selesai, perlu kebijakan lain yang
mendukung dan mengamankan agar berjalan sesuai dengan tujuan, yaitu sebagai
pintu masuk Indonesia menjadi berdaulat dibidang maritime sekaligus masuk
sebagai Poros Maritim dunia yang diperhitungkan berbagai pihak.
0 komentar:
Posting Komentar