KIPRAH TIM REFORMASI TATA KELOLA MIGAS
Hari Minggu kemarin Tim Reformasi Tata Kelola Migas melalui konferensi pers mengumumkan kebijakan berupa pengalihan impor minyak jenis Ron 88 ke Ron 92 yang semula memroduksi bensin premium menjadi bensin pertamax. Alasan pengalihan impor karena celah penyelewengan impor Ron 88 sangat besar. Rekomendasi ini merupakan satu langkah baru yang akan ditempuh Indonesia dalam mengatasi kekisruhan soal tata kelola minyak dan gas bumi. Sejauh mana kiprah Tim Reformasi ini berdampak pada berbagai aspek yang berkaitan dengan tata niaga minyak dan gas bumi.
Pemberantasan Mafia Migas
Isu utama dari masalah minyak dan gas ini adalah munculnya tudingan mafia sudah berurat dan berakar menguasai tat kelola dan tata niaga minyak dan gas bumi di Indonesia. Sampai saat inipemerintah belum mampu membongkar siapa yang sesungguhnya gotfather dari mafia ini, meskipun ada beberapa orang yang dituding ada dibalik pergerakan mafia ini.
Beberapa waktu lalu pemerintah menyatakan akan lebih fokus pada penataan sistem tata kelola dan tata niaga dar ipada mengejar orang orang yang disangka sebagai pengendali mafia ini. Keputusan Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin oleh Faisal Basri membuktikan bahwa apa yang dikatakan pemerintah mendekati kebenaran.
Impor Premium dari luar negeri memang hanya Indonesia yang melakukannya, sementara negara negara Asia Tenggara mengimpor minyak jenis Ron 92 atau yang kemudian produknya dikenal sebagai Pertamax. Dengan hanya I(ndonesia yang mengimpor Ron 88 yang lebih dikenal dengan bensin premium, nilai tawar Indonesia selalu berada pada posisi yang lemah. Pemasok premium tentu saja hanya sedikit pemainnya, sehingga posisi tawar suplier ini sangat kuat. Apalagi dari tahun ke tahun permintaan atas komoditas jenis ini terus meningkat. Secara logika pemerintah Indonesia sangat tahu siapa saja sebenarnya pengendali tata niaga Premium ini. Pertamina menyatakan bahwa prosedur impor Premium yang ditangani oleh Petral anak perusahaan Pertamina yang berkantor pusat di Singapura tidak melakukan praktek kong kalikong dengan para mafia. Akan tetapi publik merasakan bahwa apa yang dilakukan Petral ini sarat dan berkaitan erat dengan para mafia. Ini terselip pertanyaan mengapa pemerintah lebih memilih pembenahan sistem daripada memberantas mafia dengan menangkap dan mengajukan mereka ke pengadilan?
Argumen Tim Reformasi Tata Kelola Migas bahwa impor Ron 88 rawan penyelewengan mengamini sinyalemen publik ini. Sehingga merekomendasi agar beralih ke jenis Ron 92, karena semua negara Asia Tenggara menggunakan bensin jenis ini. Artinya yang bermain sebagai suplier jauh lebih banyak, sehingga alternatif memeroleh suplier yang kompetitif dan penawarannnya paling murah bisa lebih mudah diperoleh. Argumen ini sungguh masuk akal sebab dengan proses tender yang fair dan terbuka Indonesia akan memeroleh harga beli yang lebih murah dan ketersediaan minyak jenis Ron 92 akan jauh lebih mudah diperoleh di pasar internasional.
Kilang Pertamina yang ada di dalam negeri kapasitasnya masih sangat kecil untuk memenuhi pengolahan minyak Ron 92 ini menjadi Pertamax, sehingga proses produksi Pertamax sepertinya masih akan dilakukan di Kilang Minyak luar negeri, khususnya Singapura. Artinya impor Pertamax masih sama saja prosedurnya dengan impor premium, sehingga celah penyimpangan yang dimanfaatkan para mafia masih mungkin terjadi. Dengan demikian Tim Reformasi Tata Kelola Migas perlu mengantisipasi kemungkinan ini. Dalam jangka pendek impor dalam bentuk Pertamax memang harus tetap dilakukan. Tim Reformasi perlu menindaklanjuti dengan rekomendasi kebijakan lain antara lain Pertamina didorong untuk segera membeli kapal tanker sendiri guna mengangkut Pertamax dari pengilangan di luar negeri. Kedua pembangunan kilang minyak di dalam negeri disamping meremajakan kilang yang sudah tua juga perlu membangun beberapa kilang yang tersebar di dalam negeri. Rekomendasi ketiga Pertamina perlu melibatkan perusahaan cargo didalam negeri untuk kerjasama mengangkut minyak ke berbagai wilayah sehingga peta jalan program Tol Laut untuk komoditas migas dapat segera terwujud. Apabila terpaksa baru melakukan kerjasama dengan perusahaan cargo dari luar negeri. Rekomendasi keempat yang berdimensi jangka menengah dan panjang Tim ini perlu merekomendasikan percepatan pembangunan infra struktur berupa pelabuhan yang dekat dengan kilang minyak dan jalan rel kereta api di luar Jawa sebagai prioritas.
Rekomendasi Tim soal pengalihan ke Pertamax ini tentu memengaruhi berbagai sektor kegiatan yang basis kegiatannya dengan bensin Premium. Apabila Pertamax dijual ke konsumen dengan tanpa subsidi, maka pasti akan meningkatkan biaya operasional para konsumennya. Akan tetapi pada saat yang sama penggunaan Pertamax akan memberi dampak positif dalam pemeliharaan , karena bahan bakar ini lebih efisien. Dengan demikian apabila subsidi tetap diberikan pada bahan bakar Pertamax dengan tanpa selektif kasus pemborosan seperti penggunaan pada Premium akan kembali terjadi. Oleh karena itu subsidi selektif dan ketat harus tetap menjadi pilihan.
Secara politik ekonomi saat ini sepertinya belum ada reaksi positif mau pun negatif. Dalam jangka waktu setelah masa transisi berlalu reaksi negatif bisa saja akan terjadi kalau pemerintah salah dalam menjalankan kebijakan subsidi atau tanpa subsidi sama sekali. Dalam konteks ini Pertamina harus benar benar menjalankan bisnis pemasaran dengan jujur dan transparan dan harus mengantisipasi pemain lain seperti Shell dan Petronas yang sangat mungkin akan mampu memanfaatkan pangsa pasar domestik Indonesia.
Setelah pembenahan sistemik Tim Reformasi ini saya kira belum selesai tugasnya, karena Tim ini harus bisa memastikan praktik mafia tak akan terulang kembali dan kalau perlu Petral kantor pusatnya direkomendasikan dipindah ke Jakarta atau Batam. Alasan sedrhananya transaksi impor minyak ini harus mengikuti hukum positif di Indonesia, sehingga sebagai anak perusahaan Pertamina yang bertugas menjalankan fungsi kepanjangtanganan Pertamina tunduk pada hukum Indonesia.
Mari kita tunggu apa lagi yang bisa disumbangkan Tim Reformasi Tata Kelola MIgas inibagi kemaslahatan bangsa dan rakyat Indonesia.
Purworejo, 22 Desembar 2014
Pemberantasan Mafia Migas
Isu utama dari masalah minyak dan gas ini adalah munculnya tudingan mafia sudah berurat dan berakar menguasai tat kelola dan tata niaga minyak dan gas bumi di Indonesia. Sampai saat inipemerintah belum mampu membongkar siapa yang sesungguhnya gotfather dari mafia ini, meskipun ada beberapa orang yang dituding ada dibalik pergerakan mafia ini.
Beberapa waktu lalu pemerintah menyatakan akan lebih fokus pada penataan sistem tata kelola dan tata niaga dar ipada mengejar orang orang yang disangka sebagai pengendali mafia ini. Keputusan Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin oleh Faisal Basri membuktikan bahwa apa yang dikatakan pemerintah mendekati kebenaran.
Impor Premium dari luar negeri memang hanya Indonesia yang melakukannya, sementara negara negara Asia Tenggara mengimpor minyak jenis Ron 92 atau yang kemudian produknya dikenal sebagai Pertamax. Dengan hanya I(ndonesia yang mengimpor Ron 88 yang lebih dikenal dengan bensin premium, nilai tawar Indonesia selalu berada pada posisi yang lemah. Pemasok premium tentu saja hanya sedikit pemainnya, sehingga posisi tawar suplier ini sangat kuat. Apalagi dari tahun ke tahun permintaan atas komoditas jenis ini terus meningkat. Secara logika pemerintah Indonesia sangat tahu siapa saja sebenarnya pengendali tata niaga Premium ini. Pertamina menyatakan bahwa prosedur impor Premium yang ditangani oleh Petral anak perusahaan Pertamina yang berkantor pusat di Singapura tidak melakukan praktek kong kalikong dengan para mafia. Akan tetapi publik merasakan bahwa apa yang dilakukan Petral ini sarat dan berkaitan erat dengan para mafia. Ini terselip pertanyaan mengapa pemerintah lebih memilih pembenahan sistem daripada memberantas mafia dengan menangkap dan mengajukan mereka ke pengadilan?
Argumen Tim Reformasi Tata Kelola Migas bahwa impor Ron 88 rawan penyelewengan mengamini sinyalemen publik ini. Sehingga merekomendasi agar beralih ke jenis Ron 92, karena semua negara Asia Tenggara menggunakan bensin jenis ini. Artinya yang bermain sebagai suplier jauh lebih banyak, sehingga alternatif memeroleh suplier yang kompetitif dan penawarannnya paling murah bisa lebih mudah diperoleh. Argumen ini sungguh masuk akal sebab dengan proses tender yang fair dan terbuka Indonesia akan memeroleh harga beli yang lebih murah dan ketersediaan minyak jenis Ron 92 akan jauh lebih mudah diperoleh di pasar internasional.
Kilang Pertamina yang ada di dalam negeri kapasitasnya masih sangat kecil untuk memenuhi pengolahan minyak Ron 92 ini menjadi Pertamax, sehingga proses produksi Pertamax sepertinya masih akan dilakukan di Kilang Minyak luar negeri, khususnya Singapura. Artinya impor Pertamax masih sama saja prosedurnya dengan impor premium, sehingga celah penyimpangan yang dimanfaatkan para mafia masih mungkin terjadi. Dengan demikian Tim Reformasi Tata Kelola Migas perlu mengantisipasi kemungkinan ini. Dalam jangka pendek impor dalam bentuk Pertamax memang harus tetap dilakukan. Tim Reformasi perlu menindaklanjuti dengan rekomendasi kebijakan lain antara lain Pertamina didorong untuk segera membeli kapal tanker sendiri guna mengangkut Pertamax dari pengilangan di luar negeri. Kedua pembangunan kilang minyak di dalam negeri disamping meremajakan kilang yang sudah tua juga perlu membangun beberapa kilang yang tersebar di dalam negeri. Rekomendasi ketiga Pertamina perlu melibatkan perusahaan cargo didalam negeri untuk kerjasama mengangkut minyak ke berbagai wilayah sehingga peta jalan program Tol Laut untuk komoditas migas dapat segera terwujud. Apabila terpaksa baru melakukan kerjasama dengan perusahaan cargo dari luar negeri. Rekomendasi keempat yang berdimensi jangka menengah dan panjang Tim ini perlu merekomendasikan percepatan pembangunan infra struktur berupa pelabuhan yang dekat dengan kilang minyak dan jalan rel kereta api di luar Jawa sebagai prioritas.
Rekomendasi Tim soal pengalihan ke Pertamax ini tentu memengaruhi berbagai sektor kegiatan yang basis kegiatannya dengan bensin Premium. Apabila Pertamax dijual ke konsumen dengan tanpa subsidi, maka pasti akan meningkatkan biaya operasional para konsumennya. Akan tetapi pada saat yang sama penggunaan Pertamax akan memberi dampak positif dalam pemeliharaan , karena bahan bakar ini lebih efisien. Dengan demikian apabila subsidi tetap diberikan pada bahan bakar Pertamax dengan tanpa selektif kasus pemborosan seperti penggunaan pada Premium akan kembali terjadi. Oleh karena itu subsidi selektif dan ketat harus tetap menjadi pilihan.
Secara politik ekonomi saat ini sepertinya belum ada reaksi positif mau pun negatif. Dalam jangka waktu setelah masa transisi berlalu reaksi negatif bisa saja akan terjadi kalau pemerintah salah dalam menjalankan kebijakan subsidi atau tanpa subsidi sama sekali. Dalam konteks ini Pertamina harus benar benar menjalankan bisnis pemasaran dengan jujur dan transparan dan harus mengantisipasi pemain lain seperti Shell dan Petronas yang sangat mungkin akan mampu memanfaatkan pangsa pasar domestik Indonesia.
Setelah pembenahan sistemik Tim Reformasi ini saya kira belum selesai tugasnya, karena Tim ini harus bisa memastikan praktik mafia tak akan terulang kembali dan kalau perlu Petral kantor pusatnya direkomendasikan dipindah ke Jakarta atau Batam. Alasan sedrhananya transaksi impor minyak ini harus mengikuti hukum positif di Indonesia, sehingga sebagai anak perusahaan Pertamina yang bertugas menjalankan fungsi kepanjangtanganan Pertamina tunduk pada hukum Indonesia.
Mari kita tunggu apa lagi yang bisa disumbangkan Tim Reformasi Tata Kelola MIgas inibagi kemaslahatan bangsa dan rakyat Indonesia.
Purworejo, 22 Desembar 2014