PEKERJAAN RUMAH BESAR : POROS MARITIM DUNIA
Sudah lebih dua bulan Susi Pujiastuti selaku Menteri
Kelautan dan Perikanan mencoba mengimplementasikan program andalan presiden
Joko Widodo, yaitu Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dalam konteks ini
kesan yang tersirat Susi demikian fokus pada masalah pengamanan sumber daya
ikan yang selama ini sudah dicuri oleh nelayan nelayan asing dari berbagai
negara dengan besaran kerugian sekitar 300 trilyun per tahun. Susi sampai pada
kebijakan penenggelaman kapal nelayan asing yang tertangkap agar menimbulkan
efek jera. Kapal yang ditenggelamkan pun ternyata hanya beberapa buah sangat
kecil bila dibandingkan dengan perkiraan jumlah kapal yang secara ilegal
beroperasi di perairan Indonesia yang berjumlah sekitar tujuh ribu buah kapal.
Kesan kuat yang tampak fokus Susi hanya menjangkau aspek
aspek ekonomi dari sumber daya maritim yang menjadi kekayaan Indonesia. Oleh
karena itu bila dicermati lebih jauh program Poros Maritim Dunia ini menyangkut
berbgai dimensi yang begitu luas, karena banyak aspek yang harus secara
simultan dilakukan oleh pemerintah apabila program ini dapat sukses.
Maritim
bukan sekadar lautan
Menelaah masalah kemaritiman sesungguhnya bukan berbicara
soal keberadaan sebuah negara yang secara geografis berada di tengah lautan.
Maritim bukan hanya soal laut, namun yang lebih mendasar adalah sekumpulan
manusia yang hidup dan kehidupannya begitu erat hubungannya dengan laut yang ada
di sekelilingnya. Artinya habitat kumpulan manusia tersebut adalah laut.
Konsekuensi logis dari laut sebagai habitat, maka cipta,
rasa, karsa manusia tersebut selalu bernuansa kelautan. Budaya laut merupakan
sebuah produk yang berlangsung menyejarah dalam kehidupan kumpulan manusia yang
kemudian membentuk sebuah kebangsaan dan kemudian negara. Sejarah Indonesia
mencatat Kerajaan Mojopahit, Sriwijaya, Demak, Samudera Pasai menorehkan tinta
emas sebagai kekuatan maritim yang sangat diperhitungkan pada jamannya.
Pelaut dan pedagang dari wilayah kerajaan kerajaan
tersebut dikenal telah menjelajahi dunia. Sebaliknya temuan sejarah menunjukkan
kehadiran bangsa asing sudah terjadi jauh sebelum masa kolonialisme.
Produk budaya seperti kapal Phinisi, barang barang
dagangan yang dibawa ke luar wilayah Asia bahkan sampai ke Eropa yang kemudian
mendorong terjadinya ekspedisi bangsa Eropa sampai ke wilayah Nusantara ini.
Setelah Portugis kemudian Belanda datang ke wilayah
kemudian dikenal dengan Indonesia lambat tapi pasti laut sebagai habitat hidup
manusia secara sistematik digeser, karena penjajah berkepentingan dengan hasil
bumi di daratan Indonesia yang menjadi komoditas ekspor yang sangat laku di
Eropa, sementara lautan justru dikuasai oleh mereka. Orientasi suku suku bangsa
yang hidup di Indonesia sadar atau tidak berubah menjadi petani dan buruh
perkebunan. Sementara mereka yang hidup di daerah pantai hanya mampu menjadi
nelayan tradisional yang miskin dan terbelakang, karena tak ada kesempatan buat
mereka untuk terus berkembang. Kehidupan mereka pun lebih tergantung dengan
produk produk daratan seperti beras, jagung, sagu sebagai bahan makan pokok
mereka.
Setelah merdeka pun bangsa Indonesia ini masih juga tak
sadar bahwa nenek moyang mereka pernah berjaya sebagai bangsa maritim. Fokus
mereka bagaimana matra darat bisa menjadi gantungan hidup dan kehidupannya.
Setelah berjalan selama 60 tahun sebagai bangsa merdeka kesadaran akan arti
strategis wilayah maritim disentak oleh ide yang digulirkan oleh Joko Widodo
yang kini jadi presiden.
Sekarang Poros Maritim seolah menjadi asa bangsa ini untuk
tumbuh dan berkembang sebagai bangsa besar yang akan diperhitungkan dunia dari
berbagai aspek kehidupan. Inilah yang kemudian menciptakan tantangan dan
hambatan yang ada di depan mata.
Joko Widodo mampu menciptakan gairah kehidupan bangsa
ini, namun sayang dia justru yang dia jadikan sebagai lokomotifnya adalah
gebrakan yang sangat berdimensi ekonomis. Kebijakan ini mungkin tidak salah,
karena hasil yang diperhitungkan di atas kertas sangat jelas. Misal berapa
produk ikan yang bisa diselamatkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara.Berapa
trilyun penghematan dapat dilakukan bila Tol laut bisa segera tercapai.
Kelemahan mendasar dari kebijakan ini infra struktur yang
dibutuhkan untuk pencapaian tersebut modalitas bangsa ini harus diakui sangat
minim, sehingga untuk membangun suka atau tidak suka harus mau menerima bantuan
asing. Sementara pada saat yang sama Joko Widodo juga mencanangkan era
kemandirian dalam era pemerintahannya. Ini tantangan dan sekaligus hambatan
pertama yang kita tunggu bersama bagaimana Joko Widodo mengatasinya dengan
tanpa mengorbankan kemandirian bangsa.
Pekerjaan rumah lain yang perlu diberi perhatian oleh
Joko Widodo bagaimana mengembalikan sikap mental dan jiwa bahari yang pernah
menjadi primadona dari bangsa ini bisa segera diraih kembali. Kalkulasi ekonomi
tentu saja sulit untuk digunakan sebagai rujukan. Banyak ahli yang mengatakan
soal soal semacam ini hanya bisa diselesaikan bukan dengan jalan pintas.
Pemerintah harus segera menyiapkan kurikulum pendidikan yang menunjang terciptanya
sikap mental dan jiwa bahari di kalangan murid sekolah dasar sampai lanjutan.
Ini bukan soal mudah bagi pemerintahan Joko Widodo. Pertanyaan kita apakah
dalam jangka lima tahun pemerintahan ini mampu menyiapkan peta jalan pendidikan
yang berorientasi pada kesadaran maritim sebagai jalan kehidupan masa depan
bangsa ini. Kurikulum 2013 yang saat ini menjadi polemik mungkin dalam proses
evaluasi bisa dimasukkan pendidikan kesadaran maritim ini.
Problem besar lain yang harus dihadapi bangsa ini design pertahanan keamanan yang menjadi
tanggung jawab TNI belum berubahnya matra darat sebagai center of exellence dibanding dengan matra laut dan udara. Meskipun
harus diakui setelah Polri dipisah bukan lagi menjadi kekuatan pertahanan, TNI
sudah berusaha mereformasi kelembagaan dan strategi pertahanan dalam kondisi
sivis pacem parabellum. Kesan prioritas matra darat sebagai ujung tombak
kekuatan pertahan masih sangat terkesan kuat di mata publik. Hankamrata sebagai
doktrin pertahanan keamanan perlu
didiskusikan kembali, sehingga fokus dan bobot laut sebagai matra utama dalam
menghadapi dinamika global dengan pendukung matra udara dan darat memeroleh
porsi yang relevan dengan program Poros Maritim Dunia. Bagaimana Joko Widodo
mampu mengarahkan diskusi diskusi konstruktif dalam masalah pertahanan dan
kemanan maritim merupakan sebuah tantangan dan hambatan tersendiri. Joko Widodo
sebagai orang sipil harus mampu meyakinkan para jenderal di TNI bahwa reformasi
di TNI harus diarahkan sejalan dengan program besar Poros Maritim Dunia ini.
Tantangan yang juga tak kalah penting Joko Widodo harus
mampu meyakinkan para politisi yang saat ini duduk di DPR dan MPR agar mereka
mau memberi dukungan politik dan juga kritik konstruktif demi tercapainya
kesuksesan Poros Maritim Dunia ini. DPR sangat strategis dalam memuluskan
tidaknya kebijakan polityik di bidang anggaran, payung legal formal dan
strategi lain yang perlu ditempuh oleh pemerintah.
Dari paparan ini jelas terbayang Joko Widodo mungkin akan
tercatat sebagai peletak dasar kembalinya budaya maritim dari bangsa ini,
sementara keberhasilan yang bisa dirasakan selama lima tahun masih dalam
konteks ekonomi yang berupa tambahnya besaran sumbangan sektor maritim dalam
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menciptakan maritim sebagai habitat kehidupan
bangsa Indonesia mungkin presiden lain yang akan melanjutkannya.
Dengan logika seperti di atas, maka ada bahaya yang perlu
dowaspadai oleh pemerintahan Joko Widodo, yaitu mengendalikan emosi, kesadaran
dan kesabaran rakyat dalam mengikuti dan menikmati dinamika proses pencapaian
Poros Maritim Dunia ini dalam kurun waktu lima tahun ini. Sebagian besar
pendukung Joko Widodo sangat berharap banyak pemerintahan ini segera dapat
mewujudkan janji janji kampanyenya, sementara perjalan dan proses pencapaian
tersebut bukan berjalan dijalan yang landai dan bebas hambatan, namun justru
jalan terjal, licin dan berkelok yang saat ini tampak di hadapan mata.